Bekasi Cyber Park Mall

Tag
review film

review film

Review Film: Dendam Malam Kelam (2025)

Review Film: Dendam Malam Kelam (2025) Genre: Thriller Psikologis, MisteriSutradara: Arif Dwi NugrohoPemeran Utama: Rania Putri, Reza Rahadian, Slamet RahardjoDurasi: 1 jam 52 menitRilis: Mei 2025   Sebuah Thriller Emosional yang Menyusup ke Relung Psikologis Dalam lanskap perfilman nasional yang kian dinamis, hadirnya film “Dendam Malam Kelam” menawarkan sesuatu yang berbeda: sebuah thriller psikologis yang lebih mengandalkan atmosfer sunyi dan beban emosional dibanding ketegangan fisik yang biasa ditemukan dalam genre sejenis. Disutradarai oleh Arif Dwi Nugroho, nama yang semakin diperhitungkan dalam sinema arthouse Indonesia, film ini tampil sebagai sebuah karya reflektif tentang luka batin, memori masa kecil, dan kompleksitas dendam yang berakar dari trauma terdalam manusia. Berangkat dari premis sederhana—seorang perempuan yang kembali ke rumah lamanya untuk menghadapi masa lalu—“Dendam Malam Kelam” membentangkan narasi yang tidak hanya membingkai konflik personal, tapi juga menyentuh ranah psikologis yang lebih luas: tentang bagaimana manusia menyimpan luka dalam diam, bagaimana dendam bisa tumbuh dari keheningan yang panjang, dan bagaimana memori bisa menjadi senjata paling mematikan ketika tak pernah benar-benar dihadapi. Film ini tidak menawarkan jalan cerita cepat ataupun ledakan emosi yang eksplosif. Sebaliknya, ia mengajak penonton untuk berjalan pelan, menyusuri koridor sempit kenangan bersama sang tokoh utama. Arif Dwi Nugroho membangun ketegangan bukan dari peristiwa dramatis, melainkan dari hal-hal yang tidak terlihat: suara langkah samar, cahaya lilin yang bergetar, hingga sebaris kalimat dalam buku harian yang mengubah arah cerita. Pendekatan ini menuntut perhatian penuh dan kesediaan untuk merenung, karena setiap adegan bisa jadi kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dengan pendekatan visual yang kelam dan tata suara yang minimalis namun efektif, “Dendam Malam Kelam” menyajikan pengalaman menonton yang tidak nyaman, namun justru di situlah letak kekuatannya. Ia menolak menjadi hiburan ringan; ia memilih menjadi cermin—meski buram—bagi penonton untuk melihat kembali luka-luka yang mungkin juga mereka simpan dalam diam. Sinopsis: Pulang untuk Menggali Luka Cerita berpusat pada Raina (diperankan dengan penuh penghayatan oleh Rania Putri), seorang penulis novel misteri yang mengalami writer’s block parah. Ia memutuskan kembali ke rumah masa kecilnya yang berada di lereng gunung, setelah 15 tahun meninggalkannya pasca kematian tragis sang adik. Namun rumah itu tidak sekadar menyimpan kenangan. Ia menjadi semacam kapsul waktu yang membekukan luka dan menyimpan bisikan masa lalu. Raina menemukan buku harian milik adiknya, serta sejumlah catatan dan gambar aneh yang tampak seperti potongan teka-teki. Semakin dalam ia menyelami catatan tersebut, semakin kabur batas antara realitas dan ilusi. Suara-suara aneh, penampakan samar, dan kehadiran seorang psikolog pria (Reza Rahadian) yang tiba-tiba menjadi terlalu dekat dengan kehidupannya, membuat film ini menjelma menjadi kisah misteri yang perlahan berubah menjadi pengungkapan traumatik. Karakter dan Akting: Lapisan Emosi yang Kompleks Rania Putri tampil memukau sebagai Raina. Ia mampu menggambarkan karakter yang secara luar tampak tenang dan rasional, tetapi sebenarnya menyimpan kecemasan dan luka yang belum sembuh. Tatapan kosong, cara berbicara yang tertahan, hingga gestur-gestur kecil seperti tangan yang gemetar saat membuka buku harian, menjadi detail kecil yang menunjukkan betapa besar beban psikologis yang ia tanggung. Reza Rahadian juga tampil memikat sebagai sosok yang ambigu—antara penyelamat atau justru pemicu. Permainan gestur dan intonasinya membuat penonton terus bertanya-tanya: apakah ia sekadar psikolog, atau bagian dari misteri yang lebih gelap? Slamet Rahardjo, meski hanya muncul di beberapa adegan sebagai ayah Raina, berhasil menanamkan kesan kuat. Dialognya pendek namun dalam, menambah lapisan makna tentang bagaimana orang tua sering kali menjadi saksi diam dari penderitaan anaknya. Penyutradaraan dan Sinematografi: Atmosfer yang Mencekam namun Indah Salah satu kekuatan utama film ini adalah atmosfer yang diciptakan oleh penyutradara Arif Dwi Nugroho dan sinematografer Dimas Pratama. Warna-warna dingin seperti biru pucat dan abu-abu mendominasi setiap adegan. Rumah tua digambarkan bukan sekadar bangunan fisik, melainkan labirin psikologis yang penuh simbol dan makna. Gerakan kamera yang lambat, pengambilan sudut rendah yang mempersempit ruang pandang, serta pencahayaan remang-remang dengan sumber cahaya minimal menciptakan rasa cemas yang konstan. Bahkan dalam adegan tanpa dialog, suasana gelap dan sunyi sudah cukup membuat penonton merasa tidak nyaman. Setiap sudut ruangan, setiap bayangan di koridor, dan setiap suara samar menjadi penting. Film ini menuntut penonton untuk aktif mengamati, tidak hanya menikmati cerita. Musik dan Tata Suara: Keheningan yang Berbicara Sound design dalam film ini patut diapresiasi. Tidak banyak penggunaan musik dramatis berlebihan. Sebaliknya, komposer Tio Mahendra memilih pendekatan minimalis: denting piano tak beraturan, suara detak jam tua, dan angin malam yang kadang terdengar seperti bisikan. Beberapa adegan bahkan dibiarkan hening sepenuhnya—dan justru di sanalah ketegangan berada di puncaknya. Alih-alih mengarahkan emosi penonton lewat musik, film ini justru mempermainkan keheningan sebagai alat utama untuk menyampaikan rasa takut, rindu, dan keterasingan. Tema dan Simbolisme: Antara Dendam, Trauma, dan Identitas “Dendam Malam Kelam” bukan hanya kisah misteri atau pembalasan. Film ini adalah refleksi tentang identitas, tentang bagaimana masa lalu—yang tidak pernah benar-benar dihadapi—bisa membentuk bahkan merusak jati diri. Simbolisme digunakan secara cerdas: cermin retak yang sering muncul menggambarkan jiwa yang pecah; lilin yang menyala saat Raina membaca buku harian mewakili pencarian kebenaran di tengah kegelapan. Dendam dalam film ini bukan hanya pada orang lain. Ia juga tertuju pada diri sendiri. Pada rasa bersalah, pada keputusan masa lalu, pada kebenaran yang tidak sanggup diterima. Kekurangan Film Meski kuat secara atmosfer dan tema, film ini mungkin terasa lambat bagi sebagian penonton. Babak pertama berjalan dengan tempo yang sangat pelan, lebih banyak membangun suasana daripada konflik. Beberapa dialog terkesan terlalu filosofis dan puitis, sehingga terasa tidak natural dalam konteks percakapan nyata. Namun kekurangan ini bisa dianggap sebagai pilihan artistik yang disengaja, mengingat film ini memang lebih dekat dengan drama psikologis ketimbang thriller konvensional. Kesimpulan “Dendam Malam Kelam” adalah salah satu film Indonesia paling berani tahun ini dalam mengeksplorasi luka psikologis melalui sinema yang sunyi dan intens. Ini bukan tontonan untuk semua orang. Film ini menuntut kesabaran, perhatian, dan keterbukaan emosi. Tapi bagi mereka yang bersedia menyelam ke dalam kegelapan batin manusia, film ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Skor Akhir: 8.7/10 Film ini membuktikan bahwa horor sejati tidak selalu datang dari makhluk menyeramkan, tetapi dari masa lalu yang tidak pernah selesai dimaafkan.